Latar belakang Proyek Strategis Nasional

Ketersediaan atau stok infrastruktur Indonesia sejak krisis ekonomi 1998 tercatat anjlok kerana tidak adanya pembangunan infrastruktur yang masif, terlihat dari anggaran infrastruktur yang anjlok dari posisi 9% terhadap Produk Domestik Bruto pada pertengahan tahun 1990-an menjadi 2% pada tahun 2001.[1] Pada tahun 1998, ketersediaan infrastruktur Indonesia mencapai 49% terhadap Produk Domestik Bruto, kemudian menyusut menjadi 32% pada 2012, lalu tahun 2015 menjadi 35% dan berhasil meningkat menjadi 43% pada awal 2019. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional periode 2016-2019, Bambang Brodjonegoro menilai, Indonesia perlu mengejar standar rata-rata ketersediaan infrastruktur negara maju yang mencapai 70%, seperti Tiongkok dan India yang stok infrastrukturnya sudah mencapai 76% dan 57%, termasuk mengejar ketertinggalan dengan Afrika Selatan yang Produk Domestik Bruto-nya di bawah Indonesia, namun ketersediaan infrastrukturnya sudah mencapai 87%.[2]

Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk mengejar ketertinggalan kapasitas infrastruktur, Indonesia membutuhkan laburan besar di sektor ini, yakni Rp 4,796,2 trilion selama periode 2015-2019.[3] Sebesar 41,3% atau Rp 1.978,6 trilion disumbangkan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kemudian 22,2% atau senilai Rp 1.066,2 trilion berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sisanya sebesar 36,5% atau Rp 1.751,5 trilion berasal dari pihak swasta.[3] Kebutuhan dana investasi diproyeksikan kembali meningkat menjadi Rp 6.445 trilion untuk periode 2019-2024, dengan kontribusi paling banyak diharapkan berasal dari sektor swasta, yakni 42%, disusul Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 37%, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 21%.[4]

Proyek Strategis Nasional bertujuan untuk memperbaiki kualitas dan ketersediaan (stok) infrastruktur Indonesia secara cepat, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomian nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, salah satu masalah dan tantangan pokok yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah terbatasnya ketersediaan infrastruktur untuk mendukung peningkatan kemajuan ekonomi. Stok infrastruktur yang terbatas turut membuat hambatan dalam peningkatan investasi, biaya logistik menjadi mahal, dan menimbulkan kesenjangan antara wilayah. Bank Dunia memperkirakan, buruknya kualitas infrastruktur berkontribusi terhadap berkurangnya pertumbuhan ekonomi sebesar 1% sejak tahun 2014.[1]

Proyek Strategis Nasional juga diarahkan dan disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menitikberatkan tujuan peningkatan infrastruktur untuk meningkatkan ketersambungan nasional, penyediaan infrastruktur dasar seperti air minum dan sanitasi, infrastruktur kelistrikan, menjamin ketahanan air, pangan, energi dan mengembangkan sistem transportasi massal perkotaan.[5]

Rujukan

WikiPedia: Proyek Strategis Nasional http://bloktuban.com/2019/07/30/ma-kabulkan-kasasi... http://www.harianproperty.com/Infrastruktur/detail... http://www.hutamakarya.com/id/about-trans-sumatera http://www.hutamakarya.com/id/annual-reports http://tuskadvisory.com/Document/The%20Impact%20of... http://ojs.atmajaya.ac.id/index.php/metris/article... http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/jkebijakan... http://www.conference.unsri.ac.id/index.php/uniid/... http://iif.co.id/id/tentang-kami/ikhtisar/ http://industri.kontan.co.id/news/fokus-di-kilang-...